Powered By Blogger

Jumat, 06 September 2013

Proyeksi Ekonomi 2013 (WASPADA DAYA SAING NASIONAL)

Kadin Indonesia telah mengevaluasi perekonomian nasional serta memperkirakan kondisi perkembangan ekonomi ke depan di tahun 2013. Evaluasi Kadin tersebut difokuskan pada isu-isu strategis nasional dan isu-isu krusial yang perlu mendapat perhatian seperti daya saing nasional, subsidi BBM, infrastruktur dan logistik, iklim investasi, kondisi UMKM, FTA, Investment Fund, serta masalah pasar dalam negeri yang diserbu waralaba asing. 
Kadin memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi dunia 2012 mencapai 3,5 persen, lebih rendah dibandingkan tahun 2011 yang mencapai 3,9 persen. Sementara itu, Kadin memperkirakan perekonomian dunia di tahun 2013 akan lebih baik dibandingkan tahun 2012 meski masih dibayangi oleh berbagai ketidakpastian. Adapun yang menjadi faktor ketidakpastian tersebut diantaranya krisis utang negara-negara maju terutama Eropa; ketegangan politik di Timur Tengah, Afrika Utara, dan Semenanjung Korea; ketegangan Cina dan Jepang, perubahan iklim dan potensi bencana alam di tingkat global; serta harga energi yang akan melambung tinggi jika terjadi konflik di Iran.

“Situasi tersebut berpotensi meningkatkan proteksi pada banyak negara serta langkah tidak sehat untuk mempertahankan pasar domestiknya, akibatnya persaingan antar negara untuk memenangkan pasar perdagangan dan investasi semakin ketat, sehingga menuntut penguatan perekonomian domestik,” ungkap Ketua Umum Kadin Indonesia Suryo Bambang Sulisto dalam paparan Proyeksi Ekonomi 2013 Kadin, (11/12).
Kondisi global yang tidak menentu berpengaruh pada kondisi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sampai Kwartal III 2012, pertumbuhannya sekitar 6,17 persen. “Secara keseluruhan sampai akhir 2012 pertumbuhan ekonomi diperkirakan hanya sekitar 6,14 persen, jauh lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya,” ungkap Suryo.

Daya Saing
Pada tahun 2010 sampai dengan 2011 peringkat daya saing ekonomi menurun dari peringkat 44 menjadi peringkat 46 dan kemudian menurun lagi menjadi peringkat 50 pada tahun 2012. “Daya saing Indonesia masih rendah karena kualitas dan jumlah infrastruktur sangat rendah dan sangat jauh dari memadai,” kata Suryo.
Pemerintah, lanjut Suryo, memang selalu memperhatikan permasalahan ini tetapi kenyataan di lapangan infrastruktur nasional dan daerah masih sangat rendah. Hal ini tercermin dari kemacetan di jalan-jalan, transportasi publik yang tidak memadai, bandara dan pelabuhan yang tidak bertambah, kapasitas listrik yang tidak memadai serta jaringan irigasi yang justru menurun.
Peringkat daya saing yang rendah juga tercermin dari kondisi kelembagaan birokrasi yang tidak produktif dan bahkan dinilai mengganggu dunia usaha.  “Kebijakan dan regulasi pemerintah sering tidak pasti sehingga mengganggu dunia usaha.”
Tenaga kerja yang tidak efisien dan faktor ketidaksiapan teknologi juga mempengaruhi rendahnya daya saing.  “Tekanan dan tuntutan kenaikan upah sangat kuat, namun tidak disertai efisiensi dan produktivitas tenaga kerja. Ini menyebabkan dunia usaha, terutama untuk sektor industri semakin tertekan pertumbuhannya,” kata Suryo.
Kondisi infrastruktur dan layanan birokrasi yang buruk mempengaruhi ongkos produksi dan perdagangan yang semakin mahal. Sementara faktor ketenagakerjaan yang tidak efisien dan teknologi yang relatif rendah menyebabkan inefisiensi industri. “Kondisi seperti ini mempengaruhi rendahnya kemudahan melakukan usaha (Doing Business),” ungkap Ketua Umum.

Subsidi BBM dan Inefisiensi Anggaran
Kadin Indonesia menilai, beban subsidi energi dalam APBN sangat besar dan tidak rasional sehingga merusak struktur APBN menjadi tidak sehat. Sehingga mempengaruhi masih minimnya peran ekonomi pemerintah dalam pembangunan infrastruktur untuk mendukung dunia usaha dan kegiatan ekonomi masyarakat karena anggaran tidak memadai. “Konsumsi energi harus dikendalikan dan jangan boros. Politik dan kebijakan anggarannya harus tepat,” kata Suryo.
Pada tahun 2013 beban subsidi energi sudah mencapai 274 trilyun rupiah. Bahkan dalam pelaksanaannya nanti diperkirakan meningkat sampai 300 trilyun rupiah lebih. Dari subsidi BBM sekitar 80 persen dinikmati golongan yang mampu dan yang tidak berhak atas subsidi tersebut.
Kadin memberikan saran kepada pemerintah untuk memotong subsidi sekitar 150 trilyun agar tersedia anggaran yang lebih besar bagi pembangunan infrastruktur daerah. Penyisihan dana tersebut dialokasikan untuk setiap daerah provinsi sebesar 4-5 trilyun rupiah sehingga terjadi "big push" pembangunan di daerah.

Infrastruktur dan Logistik
Daya saing infrastruktur Indonesia masih rendah, berada di peringkat 78 dunia. Untuk daerah ASEAN, Indonesia hanya lebih baik dari Flipina, Kamboja dan Vietnam. Dari semua komponen infrastruktur yang diteliti, yang paling buruk adalah kondisi pelabuhan  (peringkat 104) dan kondisi jalan (peringkat 90).  “Pembangunan jalan baru sangat sedikit. Perkembangan infrastruktur pelabuhan dan bandara juga sangat rendah tidak seimbang dengan perkembangan aktivitasnya,” kata Suryo.
Selama ini, lanjut Suryo, jika pun swasta hendak membangun dengan dananya, akan masih bergelut menghadapi persoalan pembebasan tanah, regulasi, birokrasi dan  iklim usaha yang masih tidak kondusif.
Kelemahan konektivitas antar daerah juga mendorong tingginya biaya logistik di Indonesia yang saat ini berkisar diantara 25-30 persen. Sebagai perbandingan, biaya logistik di Malaysia 15 persen, Amerika 10 persen, Jepang 10 persen dan Thailand 16 persen. Logistics Performance Index (LPI) tahun 2010 dari Bank Dunia menempatkan Indonesia pada posisi ke 75 dari 150 negara yang disurvei.

Iklim Investasi
Dalam survei Doing Business, kemudahan berusaha (Ease of Doing Business) di Indonesia tahun 2012 menurun menjadi peringkat 129. Penyebabnya adalah prosedur memulai usaha (starting a business) yang masih berbelit-belit. Di Singapura hanya memerlukan waktu 3 hari untuk memulai bisnis dengan izin formal, di Indonesia diperlukan waktu berbulan-bulan.
“Iklim investasi juga masih rendah karena kita masih kesulitan memperoleh listrik (getting electricity), memperoleh kredit (getting credit), dan menjalankan kontrak (enforcing contract),” ungkap Suryo.
Selain biaya logistik antar wilayah Indonesia yang masih tinggi, kondisi pasar kerja yang kurang efisien juga menyebabkan iklim investasi juga rendah, terutama yang mencakup biaya redundansi yang tinggi, kekakuan lapangan kerja, penerimaan dan pemutusan kerja, fleksibilitas penentuan upah dan hubungan karyawan pengusaha. “Meskipun begitu, investasi luar negeri terus saja mengalir ke Indonesia karena faktor krisis di negara-negara pengekspor modal.”
Riset di lingkungan KADIN memperlihatkan bahwa perbaikan iklim investasi di daerah sebesar 1% akan meningkatkan kontribusi investasi terhadap penerimaan atau output daerah sebesar 6,963%. Kadin menilai reformasi regulasi usaha harus cepat diperbaiki agar bisa mendukung peningkatan investasi. Kinerja Birokrasi di Indonesia masih buruk, yang ditunjukkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) pada tahun 2011 hanya bernilai 3 dari angka maksimum 10.

UKM dan Kewirausahaan
Jumlah Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) sangat mendominasi struktur ekonomi di Indonesia, yakni sekitar 99,9 persen. Di samping itu, jumlah Usaha Mikro yang sangat kecil mencapai 98,8 persen.  Usaha skala mikro ini umumnya merupakan usaha informal yang dikelola oleh wirausahawan informal, yang menjadi penyangga penyerapan tenaga kerja.  Meskipun demikian, sumbangan UMKM terhadap PDB hanya 56,7 persen.  Hampir separuh ekonomi disumbang oleh 0,1 persen usaha besar.
“Pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus lebih serius mengatasi masalah sektor informal, karena sektor ini harus dijadikan basis wirausahawan mandiri informal untuk ditransforasikan menjadi formal.”
Birokrasi, tambah Suryo, harus ramah terhadap usaha mikro dan kecil ini sehingga lebih mudah untuk didorong naik tingkat (strategi scalling up).  Selain itu, pemerintah perlu melakukan konsolidasi kelembagaan, investasi teknologi terapan tepat guna dan mendorong kewirausahaan UMKM melalui pendidikan.

FTA DAN CEPA
Diplomasi ekonomi dan perdagangan Indonesia dinilai masih lemah. Seringkali, negosiasi dengan pihak mitra asing tidak dilakukan dengan cermat dan sering diabaikan dengan menyerahkan pada pelaku negosiasi eselon bawah. Dengan pola strategi diplomasi dagang seperti ini, maka Indonesia selalu kalah dan menjadi korban sehingga beban kerugian yang besar ditanggung oleh dunia usaha.
Contoh paling nyata adalah CAFTA, yang meluluhlantakkan usaha kecil dan menengah serta membuat industri nasional mati suri dengan gejala massal deindustrialisasi. Karena itu, setiap ada usaha negosiasi baru, maka dunia usaha dan publik merespon dengan tegas penolakan awal yang keras tanpa mengetahui isi negosiasi dagang tersebut. Sebabnya tidak lain karena secara historis kinerja pemerintah dalam diplomasi ekonomi lemah, sehingga publik dan dunia dunia usaha kurang percaya.
Kinerja perdagangan produk industri tahun 2007- 2011 justru defisit, kecuali India.   Pertumbuhan impor 2-3 kali lebih tinggi dari pertumbuhan ekspor. Dengan Jepang, pertumbuhan impor Indonesia mencapai 31,2 persen, tetapi pertumbuhan ekspor Indonesia hanya 7,07 persen. Dengan Cina, pertumbuhan impor lebih dari 300 persen sehingga defisit perdagangan semakin besar.  “Dalam kasus CAFTA, Indonesia berada pada pihak yang dirugikan dengan korban pengusaha sektor industri. Memang, kondisi perdagangan antara negara dan wilayah berbeda-beda, tetapi belajar pada kasus tersebut  pemerintah harus lebih teliti dan berhati-hati,” ujar Suryo.

Waralaba Asing
Bisnis waralaba di dalam negeri tumbuh secara signifikan dari tahun ke tahun. Pertumbuhan pada 2009-2010 mencapai 40 persen, naik dari penjualan 81 trilyun rupiah menjadi 114 triliun rupiah. Pada tahun 2011 meningkat lagi menjadi 121 triliun rupiah. Pertumbuhan waralaba paling signifikan terjadi pada bidang usaha makanan dan kuliner lainnya, baik untuk waralaba asing maupun lokal. Fenomena ini harus dicermati agar Indonesia tidak kehilangan kesempatan mengambil manfaat dari pasar dalam negeri yang besar.  Waralaba nasional harus mendapat manfaat dari perkembangan ini.
Kementerian Perdagangan menetapkan aturan baru dalam bidang waralaba, Nomor 68/M-DAG/PER/10/2012 tentang waralaba untuk jenis usaha toko modern.  Tujuannya agar perusahaan waralaba asing yang mendirikan lebih dari 150 outlet harus mengajak partner lokal dan memenuhi muatan lokal 80 persen dari jenis barang yang perdagangkan.   Jika ada yang memiliki 5.000 outlet maka harus dilepas 40 persen dari total outlet selama lima tahun. Aturan ini didukung penuh oleh KADIN dan perlu dijalankan secara konsisten.

Investment Fund
Pasar Indonesia sangat besar dengan 50 juta kelas menengah baru dan akan meningkat dua kali lipat dalam beberapa tahun mendatang. Ukuran ekonomi Indonesia juga sangat besar karena masuk di dalam jajaran 20 besar dunia.  Tetapi kita kehilangan kesempatan ekonomi yang besar karena tidak merespons dengan kebijakan ekonomi dan bisnis yang tepat.  Beberapa negara di dunia untuk kepentingan ekspansi ekonomi telah membentuk lembaga yang mengadopsi konsep sovereign wealth fund (SWF). SWF adalah suatu lembaga dana investasi milik negara yang dibentuk dari dana yang dapat berasal dari (i) penerimaan pemerintah dari ekspor sumberdaya alam, dan/atau (ii) surplus neraca pembayaran, operasi valas resmi, hasil privatisasi, transfer pemerintah, dan/atau surplus fiskal. Dengan lembaga SWF ini, maka ekonomi dan bisnis negara bersangkutan merambah ke seluruh jaringan global sehingga sektor ekonomi luar negerinya menjadi sangat kuat.
“Sangat disayangkan, upaya untuk membentuk lembaga investasi domestik seperti Indonesian Investment Fund, dengan total estimasi total pembiayaan pembangunan infrastruktur Indonesia hanya mencapai 1,9 triliun rupiah (0,3 milyar USD),” ungkap Suryo.
Akumulasi dana tersebut sangat sedikit dibandingkan SWF Singapura seperti Temasek yang mencapai 161 milyar USD. Kegiatan Temasek sudah tersebar di 5 benua dan merupakan pemegang saham dan investor di bidang jasa keuangan (diantaranya bank Danamon di Indonesia), telekomunikasi dan media, teknologi, transportasi, industri, ilmu hayati, barang konsumen, real estate, dan energi serta sumberdaya alam.
Pemerintah Singapura memiliki lembaga investasi lainnya yang lebih besar, yaitu Government Investment Corporation (GIC), yang mengelola cadangan devisa Singapura. “Sudah saatnya Indonesia memiliki lembaga investasi seperti ini.”

Selain Temasek, Malaysia juga sudah membentuk Khazanah Nasional Berhad, dana investasi strategis Pemerintah Malaysia, yang dipercaya mengelola aset komersial negara. Khazanah memiliki investasi di lebih dari 50 perusahaan besar, baik di Malaysia maupun di luar Malaysia, dan mencakup sektrum industri yang luas, termasuk jasa keuangan seperti CIMB Niaga, usaha perkebunan dan lainnya.

Evaluasi MP3EI
Sebenarnya pengembangan MP3EI dilakukan dengan pendekatan breakthrough yang didasari oleh semangat “Not Business As Usual”. Pihak swasta akan diberikan peran utama dan penting dalam pembangunan ekonomi terutama dalam peningkatan investasi dan penciptaan lapangan kerja, sedangkan pihak pemerintah akan berfungsi sebagai regulator, fasilitator dan katalisator. “Rancangan kebijakan MP3EI ini sangat ideal sehingga memerlukan komitmen riil dari pemerintah sendiri sebelum mendapat komitmen dari pihak swasta. Sumber daya finansial APBN yang dimiliki pemerintah diharapkan dapat didedikasikan untuk pembangunan ekonomi secara efisien,” kata Suryo.
Sejak diluncurkan sampai akhir Desember 2011, pemerintah telah melaksanakan groundbreaking sebanyak 94 proyek investasi sektor riil dan pembangunan infrastruktur dengan total nilai investasi Rp499,5 triliun. Sedangkan pada tahun 2012 pemerintah merencanakan groundbreaking terhadap 84 proyek investasi sektor riil dan pembangunan infrastruktur, dengan nilai total Rp536,3 triliun.  “Groundbreaking proyek pada umumnya merupakan investasi sektor swasta murni. Kebutuhan infrastruktur yang diperlukan terbengkalai karena kekurangan anggaran di APBN, jalan baru hampir tidak dibangun, begitu juga infrastruktur lain yang diperlukan, seperti pelabuhan dan bandara.”
Realisasi proyek dalam kerangka MP3EI pada tahun 2011 dan 2012 lebih banyak merupakan inisiatif swasta dan investasi asing, yang berkembang otomatis karena pasar, investasi spontan dari swasta  dan momentum ekonomi yang baik.

Proyeksi Ekonomi 2013
Pada tahun 2013 perekonomian global diperkirakan mulai ada perbaikan, terutama  kondisi perekonomian di negara-negara Eropa, termasuk Amerika Serikat. Dengan demikian, maka kondisi ekonomi internasional akan mulai bertumbuh lebih tinggi dari tahun 2012 ini.  Pada tahun 2012, pertumbuhan ekonomi dunia sekitar 3,5 persen, lebih rendah dibandingkan tahun 2011 (3,9 persen). Sedangkan pada tahun 2013 pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan bisa mencapai 4,1 persen.
Seperti telah diproyeksikan dalam outlook KADIN akhir tahun 2011 yang lalu, pertumbuhan ekonomi 2012 diperkirakan lebih rendah dibandingkan tahun 2011.  Pertumbuhan ekonomi setelah tahun 2012 diperkirakan akan lebih meningkat dibandingkan tahun 2012.  “Perkiraan KADIN pada tahun 2013 ekonomi Indonesia cukup optimis karena masih akan bertumbuh di kisaran 6,4 persen (plus minus 0,2 persen),” kata Suryo.
Menurut Suryo, Tumpuan pertumbuhan tahun depan tetap pada sektor konsumsi, didukung oleh kegiatan investasi yang cukup berkembang sampai saat ini. Sedangkan, kegiatan ekspor masih berada di bawah kinerja yang sebenarnya. Yang dikhawatirkan dunia usaha adalah faktor pengeluaran pemerintah, yang belum optimal berperan membantu pertumbuhan sekaligus pemerataan.
Sementara itu, Tingkat pengangguran terbuka tidak mengalami penurunan yang signifikan dan tetap tergolong paling tinggi di ASEAN. Bahkan tingkat pengangguran terselubung justru meningkat sehingga menurunkan kualitas pertumbuhan ekonomi itu sendiri. Bahkan sektor industri cenderung melempar tenaga kerja ke sektor informal karena tekanan impor produk dari Cina dan situasi perburuhan yang cenderung mematikan industri padat karya.

Sumber: copy right 
http://www.kelompokinti3.blogspot.com/v2/index.php?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar