INISIAL: RONI T. POHAN
Masa Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi keuangan pada masa awal kemerdekaan amat buruk, antara lain disebabkan oleh :
- Inflasi yang sangat tinggi
Disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak
terkendali. Pada saat itu diperkirakan mata uang Jepang yang beredar di
masyarakat sebesar 4 milyar. Dari jumlah tersebut, yang beredar di Jawa
saja, diperkirakan sebesar 1,6 milyar. Jumlah itu kemudian bertambah
ketika pasukan Sekutu berhasil menduduki beberapa kota besar di
Indonesia dan menguasai bank-bank.
Dari bank-bank itu Sekutu mengedarkan uang cadangan sebesar 2,3
milyar untuk keperluan operasi mereka. Kelompok masyarakat yang paling
menderita akibat inflasi ini adalah petani. Hal itu disebabkan pada
zaman pendudukan Jepang petani adalah produsen yang paling banyak
menyimpan mata-uang Jepang. Pada waktu itu, untuk sementara waktu
pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI,
yaitu mata uang
De Javasche Bank, mata uang pemerintah
Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan
Jepang. Kemudian pada tanggal
6 Maret 1946, Panglima AFNEI (
Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan
Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu
ORI
(Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang. Berdasarkan
teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan
tingkat harga.
Pada saat kesulitan ekonomi menghimpit bangsa Indonesia, tanggal
6 Maret 1946,
Panglima AFNEI yang baru, Letnan Jenderal Sir Montagu Stopford
mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang diduduki Sekutu.
Uang NICA ini dimaksudkan sebagai pengganti uang Jepang yang nilainya
sudah sangat turun. Pemerintah melalui Perdana Menteri Syahrir memproses
tindakan tersebut. Karena hal itu berarti pihak Sekutu telah melanggar
persetujuan yang telah disepakati, yakni selama belum ada penyelesaian
politik mengenai status Indonesia, tidak akan ada mata uang baru.
Oleh karena itulah pada bulan
Oktober 1946 Pemerintah RI, juga melakukan hal yang sama yaitu mengeluarkan uang kertas baru yaitu
Oeang Republik Indonesia
(ORI) sebagai pengganti uang Jepang. Untuk melaksanakan koordinasi
dalam pengurusan bidang ekonomi dan keuangan, pemerintah membentuk Bank
Negara Indonesia pada tanggal
1 November 1946. Bank Negara ini semula adalah Yayasan Pusat Bank yang didirikan pada bulan Juli 1946 dan dipimpin oleh
Margono Djojohadikusumo. Bank negara ini bertugas mengatur nilai tukar ORI dengan
valuta asing.
- Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negri RI.
Blokade laut ini dimulai pada bulan November 1945 ini, menutup pintu
keluar-masuk perdagangan RI. Adapun alasan pemerintah Belanda melakukan
blokade ini adalah:
- Untuk mencegah dimasukkannya senjata dan peralatan militer ke Indonesia;
- Mencegah dikeluarkannya hasil-hasil perkebunan milik Belanda dan milik asing lainnya;
- Melindungi bangsa Indonesia dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh orang bukan Indonesia.
- Kas negara kosong.
- Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.
- Tanah pertanian rusak
- Tenaga kerja dijadikan romusha
- Tanah pertanian ditanami tanaman keras
Usaha-usaha yang dilakukan untuk mengatasi kesulitan-kesulitan ekonomi, antara lain :
- Program Pinjaman Nasional dilaksanakan oleh menteri keuangan Ir. Surachman dengan persetujuan BP-KNIP, dilakukan pada bulan Juli 1946.
- Upaya menembus blokade dengan diplomasi beras ke India seberat 500000 ton, mangadakan kontak dengan perusahaan swasta Amerika, dan menembus blokade Belanda di Sumatera dengan tujuan ke Singapura dan Malaysia.
- Konferensi ekonomi Februari 1946
dengan tujuan untuk memperoleh kesepakatan yang bulat dalam
menanggulangi masalah-masalah ekonomi yang mendesak, yaitu : masalah
produksi dan distribusi makanan, masalah sandang, serta status dan
administrasi perkebunan-perkebunan.
- Pembentukan Planning Board (Badan Perancang Ekonomi) 19 Januari 1947
- Rekonstruksi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (Rera) 1948 yaitu mengalihkan tenaga bekas angkatan perang ke bidang-bidang produktif.
- Pada tanggal 19 Januari 1947 dibentuk Planing Board (badan perancang ekonomi yang bertugas untuk membuat rencana pembangunan ekonomi jangka waktu 2 sampai tiga tahun). Kemudian IJ Kasimo
sebagai menteri Persediaan Makanan Rakyat menghasilkan rencana produksi
lima tahun yang dikenal dengan nama Kasimo Plan, yang isinya
- Memperbanyak kebun bibit dan padi unggul
- Pencegahan penyembelihan hewan pertanian
- Penanaman kembali tanah kosong
- Pemindahan penduduk (transmigrasi) 20 juta jiwa dari Jawa ke Sumatera dalam jangka waktu 1-15tahun.
Kehidupan ekonomi Indonesia hingga tahun
1959
belum berhasil dengan baik dan tantangan yang menghadangnya cukup
berat. Upaya pemerintah untuk memperbaiki kondisi ekonomi adalah sebagai
berikut.
Kebijakan ini adalah Pemotongan nilai uang (sanering). Caranya
memotong semua uang yang bernilai Rp. 2,50 ke atas hingga nilainya
tinggal setengahnya. Kebijakan ini dilakukan oleh Menteri Keuangan
Syafruddin Prawiranegara pada masa pemerintahan
RIS. Tindakan ini dilakukan pada tanggal 20 Maret 1950 berdasarkan SK Menteri Nomor 1 PU tanggal
19 Maret 1950. Tujuannya untuk menanggulangi defisit anggaran sebesar Rp. 5,1 Miliar.
Dampaknya rakyat kecil tidak dirugikan karena yang memiliki uang Rp.
2,50 ke atas hanya orang-orang kelas menengah dan kelas atas. Dengan
kebijakan ini dapat mengurangi jumlah uang yang beredar dan pemerintah
mendapat kepercayaan dari pemerintah Belanda dengan mendapat pinjaman
sebesar Rp. 200 juta.
Sistem Ekonomi Gerakan Benteng
Sistem ekonomi Gerakan Benteng merupakan usaha pemerintah Republik
Indonesia untuk mengubah struktur ekonomi yang berat sebelah yang
dilakukan pada masa Kabinet Natsir yang direncanakan oleh
Sumitro Djojohadikusumo
(menteri perdagangan). Program ini bertujuan untuk mengubah struktur
ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi
Indonesia). Programnya adalah:
- Menumbuhkan kelas pengusaha dikalangan bangsa Indonesia.
- Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu diberi kesempatan untuk berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi nasional.
- Para pengusaha Indonesia yang bermodal lemah perlu dibimbing dan diberikan bantuan kredit.
- Para pengusaha pribumi diharapkan secara bertahap akan berkembang menjadi maju.
Gagasan Sumitro ini dituangkan dalam program Kabinet Natsir dan
Program Gerakan Benteng dimulai pada April 1950. Hasilnya selama 3 tahun
(1950-1953) lebih kurang 700 perusahaan bangsa Indonesia menerima
bantuan kredit dari program ini. Tetapi tujuan program ini tidak dapat
tercapai dengan baik meskipun beban keuangan pemerintah semakin besar.
Kegagalan program ini disebabkan karena :
- Para pengusaha pribumi tidak dapat bersaing dengan pengusaha non pribumi dalam kerangka sistem ekonomi liberal.
- Para pengusaha pribumi memiliki mentalitas yang cenderung konsumtif.
- Para pengusaha pribumi sangat tergantung pada pemerintah.
- Para pengusaha kurang mandiri untuk mengembangkan usahanya.
- Para pengusaha ingin cepat mendapatkan keuntungan besar dan menikmati cara hidup mewah.
- Para pengusaha menyalahgunakan kebijakan dengan mencari keuntungan secara cepat dari kredit yang mereka peroleh.
Dampaknya adalah program ini menjadi salah satu sumber defisit
keuangan. Beban defisit anggaran Belanja pada 1952 sebanyak 3 Miliar
rupiah ditambah sisa defisit anggaran tahun sebelumnya sebesar 1,7
miliar rupiah. Sehingga menteri keuangan Jusuf Wibisono memberikan
bantuan kredit khususnya pada pengusaha dan pedagang nasional dari
golongan ekonomi lemah sehingga masih terdapat para pengusaha pribumi
sebagai produsen yang dapat menghemat devisa dengan mengurangi volume
impor.
Seiring meningkatnya rasa nasionalisme maka pada akhir tahun
1951
pemerintah Indonesia melakukan nasionalisasi De Javasche Bank menjadi
Bank Indonesia. Awalnya terdapat peraturan bahwa mengenai pemberian
kredit harus dikonsultasikan pada pemerintah Belanda. Hal ini menghambat
pemerintah dalam menjalankan kebijakan ekonomi dan moneter. Tujuannya
adalah untuk menaikkan pendapatan dan menurunkan biaya ekspor, serta
melakukan penghematan secara drastis. Perubahan mengenai nasionalisasi
De Javasche Bank menjadi
Bank Indonesia sebagai bank sentral dan bank sirkulasi diumumkan pada tanggal
15 Desember 1951 berdasarkan Undang-undang No. 24 tahun 1951.
Sistem Ekonomi Ali-Baba
Sistem ekonomi Ali-Baba diprakarsai oleh
Iskaq Tjokrohadisurjo (menteri perekonomian kabinet Ali I). Tujuan dari program ini adalah:
- Untuk memajukan pengusaha pribumi.
- Agar para pengusaha pribumi bekerjasama memajukan ekonomi nasional.
- Pertumbuhan dan perkembangan pengusaha swasta nasional pribumi dalam rangka merombak ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional.
- Memajukan ekonomi Indonesia perlu adanya kerjasama antara pengusaha pribumi dan non pribumi.
Ali digambarkan sebagai pengusaha
pribumi sedangkan Baba digambarkan sebagai pengusaha non pribumi khususnya
Cina.
Dengan pelaksanaan kebijakan Ali-Baba, pengusaha pribumi diwajibkan
untuk memberikan latihan-latihan dan tanggung jawab kepada tenaga-tenaga
bangsa Indonesia agar dapat menduduki jabatan-jabatan staf. Pemerintah
menyediakan kredit dan lisensi bagi usaha-usaha swasta nasional.
Pemerintah memberikan perlindungan agar mampu bersaing dengan
perusahaan-perusahaan asing yang ada. Program ini tidak dapat berjalan
dengan baik sebab:
- Pengusaha pribumi kurang pengalaman sehingga hanya dijadikan alat
untuk mendapatkan bantuan kredit dari pemerintah. Sedangkan pengusaha
non pribumi lebih berpengalaman dalam memperoleh bantuan kredit.
- Indonesia menerapkan sistem Liberal sehingga lebih mengutamakan persaingan bebas.
- Pengusaha pribumi belum sanggup bersaing dalam pasar bebas.
Persaingan Finansial Ekonomi (Finek)
Pada masa Kabinet
Burhanuddin Harahap dikirim delegasi ke
Jenewa untuk merundingkan masalah finansial-ekonomi antara pihak Indonesia dengan pihak Belanda. Misi ini dipimpin oleh
Anak Agung Gde Agung. Pada tanggal 7 Januari 1956 dicapai kesepakatan rencana persetujuan Finek, yang berisi:
- Persetujuan Finek hasil KMB dibubarkan.
- Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral.
- Hubungan Finek didasarkan pada Undang-undang Nasional, tidak boleh diikat oleh perjanjian lain antara kedua belah pihak.
Hasilnya pemerintah Belanda tidak mau menandatangani, sehingga Indonesia mengambil langkah secara sepihak. Tanggal
13 Februari 1956
Kabinet Burhanuddin Harahap melakukan pembubaran Uni Indonesia-Belanda
secara sepihak. Tujuannya untuk melepaskan diri dari keterikatan ekonomi
dengan Belanda. Sehingga, tanggal 3 Mei 1956, akhirnya Presiden
Soekarno menandatangani undang-undang pembatalan KMB. Dampaknya adalah
banyak pengusaha Belanda yang menjual perusahaannya, sedangkan pengusaha
pribumi belum mampu mengambil alih perusahaan Belanda tersebut.
Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT)
Masa kerja kabinet pada masa liberal yang sangat singkat dan program
yang silih berganti menimbulkan ketidakstabilan politik dan ekonomi yang
menyebabkan terjadinya kemerosotan ekonomi, inflasi, dan lambatnya
pelaksanaan pembangunan.
Program yang dilaksanakan umumnya merupakan program jangka pendek,
tetapi pada masa kabinet Ali Sastroamijoyo II, pemerintahan membentuk
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional yang disebut Biro Perancang
Negara. Tugas biro ini merancang pembangunan jangka panjang. Ir. Juanda
diangkat sebagai menteri perancang nasional. Biro ini berhasil menyusun
Rencana Pembangunan Lima Tahun (RPLT) yang rencananya akan dilaksanakan
antara tahun 1956-1961 dan disetujui DPR pada tanggal 11 November 1958.
Tahun 1957 sasaran dan prioritas RPLT diubah melalui Musyawarah Nasional
Pembangunan (Munap). Pembiayaan RPLT diperkirakan 12,5 miliar rupiah.
RPLT tidak dapat berjalan dengan baik disebabkan karena :
- Adanya depresi ekonomi di Amerika Serikat dan Eropa Barat pada akhir
tahun 1957 dan awal tahun 1958 mengakibatkan ekspor dan pendapatan
negara merosot.
- Perjuangan pembebasan Irian Barat dengan melakukan nasionalisasi
perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia menimbulkan gejolak ekonomi.
- Adanya ketegangan antara pusat dan daerah sehingga banyak daerah yang melaksanakan kebijakan ekonominya masing-masing.